Welcome To Ni'amSpot. Good Luck For You. don't worry to make a mistake

Jumat, 28 Oktober 2011

Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBM-NU)

Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBM-NU)
A.    Pengertian LBM-NU
Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama atau disingkat LBM  NU adalah sebuah lembaga otonom Organisasi Masyarakat Nahdlatul Ulama yang berkecimpung pada pembahasan masalah-masalah kekinian yang berkembang di Masyarakat dengan berpedoman pada Al Quran dan Al Hadits dan Kutab at Turats para mujtahid terdahulu
hasil musyawarah para kyai dalam menyikapi masalah-masalah kemasyarakatan ditinjau dari sudut pandang fiqh syariah, yaitu :
1.      Hasil Bahtsul Masail yang diselenggarakan oleh LBM NU Wilayah Jawa Timur yang dikumpulkan dalam rubrik TOPIK
2.      Hasil Bahtsul Masail yang diselenggarakan oleh LBM NU Cabang se Jawa Timur yang dikumpulkan dalam rubrik  DAERAH
3.      Hasil Bahtsul Masail yang diselenggarakan oleh Forum Musyawarah Pondok Pesantren Se Jawa Madura atau disingkat FMPP yang dikumpulkan dalam rubrik FMPP.

Ketiga lembaga ini masing-masing berdiri secara otonom. Oleh karena itu dimungkinkan hasil bahtsul masail yang diputuskan ada yang memiliki kesamaan pembahasan atau bahkan ada sedikit banyak perbedaan keputusan, namun demikian kesemuaannya dapat dipertanggung jawabkan karena telah melalui pembahasan yang matang.
Bahtsul Masail di Masjid Menara Kudus Kudus, NU Online

Derap zaman semakin berkembang, banyak permasalahan baru yang tidak ditemukan di zaman Rasulullah dan generasi setelahnya yang senantiasa menghiasi kehidupan umat Islam. 


Karena secara langsung umat Islam dituntut untuk selalu selaras dengan ajarannya, hal baru tersebut haruslah sesuai dengan syariat yang digariskan Allah. Untuk itu, muncullah halaqah atau diskusi diantara para alim ulama guna memecahkan persoalan tersebut.


Pada hari Ahad (17/8) di kompleks Masjid Al Aqsha atau dikenal dengan Masjid Menara Kudus
diadakan bahtsul masail yang membahas dua tema yang dianggap krusial, seperti dilaporkan kontributor NU Online Zakki Amali.
  
Permasalahan pertama mengenai kedudukan asma' muadzom (lafal mulia) berupa lafal di dalam Al Qur’an dan lafal dzatillah (dzat Allah). Apakah masih dimuliakan tulisan asma' muadzom dalam kaidah penulisan latin? Kedua, bagaimana hukumnya lafal asma' Allah (jalallah) yang telah ditulis dengan huruf latin di Kartu Tanda Pengenal (KTP) dan menjadi nama orang, misal Abdullah, lalu dibawa masuk WC atau toilet?

Pada acara yang diselenggarakan oleh pengurus Yayasan Masjid Makam Menara Sunan Kudus (YM3SK) hadir KH Ahmad Asnawi dan KH Arifin Fanani sebagai narasumber dan KH Em Nadjib Hasan sebagai moderator.

Pertanyaan pertama mengenai asma' muadzom adalah harus tetap dihormati, karena tidak ada perbedaan kedudukan antara tulisan Arab dan Latin sedangkan permasalahan kedua jawabannya adalah khilaf, dengan alasan ikhtilat (hati-hati). 
Terdapat dua pendapat berbeda. Pertama, dalam kitab 'Ianatul Thalibin diterangkan bahwa membawa asma Allah dalam bentuk latin yang telah dijadikan nama orang lalu dibawa masuk ke toilet hukumnya haram. Sebagaimana membawa Al Qur'an. Pendapat kedua menyatakan makruh dikarenakan lebih utama ditinggal di luar toilet. “fayambaghi al imtina (sebaiknya dihindari), sebaiknya KTP itu tidak dibawa ketika memasuki toilet," kata Kiai Asnawi. (mad)
nu.or.id/page/id/.../Bahtsul_Masail_di_Masjid_Menara_Kudus.html
tabel : lbmnu-pamekasan.blogspot.com/.../laporan-kegiatan-masa-khidmat-.
Metode Ijtihad Bahtsul Masail NU

Diposting oleh : Solihin

Kategori: 
Fiqih - Dibaca: 9 kali
Sistem pengambilan keputusan hukum dalam bahtsul masa’il di lingkungan NU ditetapkan dalam Musyawarah Nasional (Munas) alim ulama NU di Bandar Lampung pada tanggal 21-25 Januari 1992 dan bertepatan dengan tanggal 16-20 Rajab 1412 H. Secara garis besar, metode pengambilan keputusan hukum yang ditetapkan NU dibedakan menjadi dua bagian: ketentuan umum; dan sistem pengambilan keputusan hukum serta petunjuk pelaksana.
Dalam ketentuan umum dijelaskan mengenai al-kutub al-muktabarat (kitab standard). Dalam keputusan tersebut, tidak terdapat rincian mengenai kitab standard. Akan tetapi, ia direferensikan kepada rumusan Muktamar NU ke-27. akan tetapi dalam keputusan tersebut dikatakan bahwa yang dimaksud dengan al-kutub al-muktabarat adalah kitab-kitab yang sesuai dengan akidah Ahl al Sunnah wa al-Jama’ah.
Setelah penjelasan mengenai al-kutub al-mu’tabarat, penjelasan berikutnya merupakan rumusan mengenai cara-cara bermadzhab atau mengikuti aliran hukum (fiqh) dan akidah (keyakinan) tertentu. Aliran fiqh dapat diikuti dengan dua cara; pertama, bermadzhab secara qawli, yaitu mengikuti pendapat-pendapat yang sudah “jadi” dalam lingkup aliran atau madzhab tertentu; dan kedua, bermadzhab secaramanhaji, yaitu bermadzhab dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh imam madzhab. Di samping itu, dibedakan pula pendapat antara imam pendiri madzhab dengan ulama yang mengikuti madzhab tertentu. Umpamanya Imam Syafi’i adalah pendiri aliran Syafi’iyah; dan imam al-Ghazali adalah ulama yang mengikuti aliran Syafi’i. pendapat imam madzhab disebut qawl; sedangkan pendapat ulama madzhab disebut wajah (al-wajh).  Apabila ulama berbeda pendapat tentang hukum tertentu, ulama sesudahnya dapat melakukan taqrir jama’iy, yaitu upaya secara kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap satu antara beberapa qawl atau wajah.
Alat bantu istinbath hukum – mengeluarkan hukum syara’ dari dalilnya – adalah kaidah-kaidah ushuliyah dan kaidah-kaidah fiqh; dan (salah satu) cara yang digunakan dalam berijtihad adalah ilhaq yaitu mempersamakan hukum suatu kasus/masalah yang dijawab oleh ulama (dalam kitab-kitab standard) terhadap masalah atau kasus yang serupa yang telah dijawab oleh ulama. Dengan kata lain, pendapat ulama yang sudah jadi menjadi “pokok” dan kasus atau masalah yang belum ada rukunnya disebut “cabang” (dalam konteks qiyas yang di dalamnya terdapat unsur atau rukun).
Bagian kedua dari sistem pengambilan hukum di lingkungan NU adalah sistem pengambilan keputusan hukum. Dalam bagian awal dari “sistem pengambilan keputusan hukum” dikatakan bahwa keputusan bahts al-masail dibuat dalam bermadzhab kepada salah satu dari empat madzhab yang disepakati dan mengutamakan bermadzhab secara qawli. Oleh karena itu, prosedur pengambilan keputusan hukum adalah:
1.      Apabila masalah atau pertanyaan telah terdapat jawabannya dalam kitab-kitab standard dan dalam kitab-kitab tersebut hanya terdapat satu qawl atau wajah, maka qawl atau wajah tersebut dapat digunakan sebagai jawaban atau keputusan.
2.      Apabila masalah atau pertanyaan telah terdapat jawabannya dalam kitab-kitab standard; akan tetapi dalam kitab-kitab tersebut terdapat beberapa qawl atau wajah, maka yang dilakukan adalah taqrir jama’i untuk menentukan pilihan salah satu qawl atau wajah. Prosedur pemilihan salah satu pendapat dilakukan dengan: pertama, mengambil pendapat yang lebih mashlahat atau yang lebih kuat, atau kedua, sedapat mungkin melakukan pemilihan pendapat dengan mempertimbangkan tingkatan sebagai berikut:

a.       Pendapat yang disepakati oleh al-Syaikhani (Imam Nawawi dan Rafi’i).
b.      Pendapat yang dipegang oleh al-Nawawi saja.
c.       Pendapat yang dipegang oleh al-Rafi’i saja.
d.      Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama.
e.       Pendapat ulama yang terpandai.
f.       Pendapat ulama yang paling wara’.
3.      Apabila masalah atau pertanyaan tidak terdapat jawabannya sama sekali dalam kitab-kitab standard (baik qawl maupun wajah), langkah yang dilakukan adalah ilhaq yang dilakukan oleh ulama (ahli) secara jama’i (kolektif). Ilhaq dilakukan dengan memperhatikan mulhaq bih, mulhaq ilayh, wajh al-ilhaq.
4.      Apabila pertanyaan atau kasus tidak terdapat jawabannya (sama sekali) dalam kitab-kitab standard (baik qawli maupun wajah), dan tidak memungkinkan untuk melakukan ilhaq, maka langkah yang ditempuh adalah istinbath secara kolektif dengan prosedur bermadzhab secara manhaji oleh para ahlinya.
Istinbath hukum merupakan alternatif terakhir, yaitu ia dapat dilakukan apabila suatu masalah atau pertanyaan tidak terdapat jawabannya dalam kitab-kitab standard sehingga tidak ada peluang untuk melakukan pemilihan pendapat dan tidak memungkinkan (ulama) untuk melakukan ilhaq karena tidak ada mulhaq bih dan wajh al-ilhaq. Ia (istinbath) dilakukan secara jama’i dengan mempraktekkan (mengaplikasikan) kaidah ushul dan kaidah fiqh. 
nurul-muhajirin.web.id/berita-190-metode-ijtihad-bahtsul-masa’il-nu...


0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes